Senin, 18 Juni 2012

Peralatan PPEH

@peralatan pribadi:

Carrier
Sleeping bag
Matras
Jaket
Baju lapangan (lengan panjang)
Topi
Sepatu lapangan
Raincoat
Obat-obatan
senter/headlamp

@peralatan regu:

Pertolongan pertama (Oksigen-1 tabung/regu)
Kamera
Lampu badai
Tambang plastik
Parang

@peralatan pengamatan dan pengukuran:

1. Kompas (per regu), 1 buah
2. Haga Hypsometer (per regu), 1 buah
3. Altimeter (per jalur), 1 buah
4. Termometer (per regu), 1 buah
5. Kertas lakmus, 1 pak
6. Pita meter 20 m, 1 buah
7. Meteran kain (1,5 m), min. 3 buah
8. Tambang plastik 25 m, diamter 1 cm, warna merah/kuning
9. Perlengkapan herbarium (alkohol 70 %, kertas koran bekas, kantong plastik besar, tali rafia, label)
10.Buku pengenalan jenis (flora & fauna)

Keterangan:
Peralatan no. 1, 2, 3, 6, 10, dapat dipinjam
di beberapa lab. Seminggu sebelum berangkat
Komisi PL akan memeriksa kelengkapnnya

nb: kalau ada tambahan akn segera diinfokan

Jumat, 15 Juni 2012

To reflect & To act


Perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada umur negara itu
Contohnya negara India dan Mesir, yang umurnya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin)
Di sisi lain –Singapura, Kanada, Australia & New Zealand– negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun, saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di dunia, dan penduduknya tidak lagi miskin
Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin
Jepang mempunyai area yang sangat terbatas.
Daratannya, 80% berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian & peternakan
Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia.
Jepang laksana suatu negara “industri terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya
Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat tetapi sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia.
Negara Swiss sangat kecil, hanya 11% daratannya yang bisa ditanami.
Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. (Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia).
Swiss juga tidak mempunyai cukup reputasi dalam keamanan, integritas, dan ketertiban – tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank yang sangat disukai di dunia.
Para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari negara terbelakang akan sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan
Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting.
Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju/kaya di Eropa
Lalu……. apa  perbedaannya?
Perbedaannya adalah pada sikap/perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan.
Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti/mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut.

Prinsip Dasar Kehidupan
  1. Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari
  2. Kejujuran dan integritas
  3. Bertanggung jawab
  4. Hormat pada aturan & hukum masyarakat
  5. Hormat pada hak orang/warga lain
  6. Cinta pada pekerjaan
  7. Berusaha keras untuk menabung & investasi
  8. Mau bekerja keras
  9. Tepat waktu

Di negara terbelakang/miskin/ berkembang, hanya sebagian kecil masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut
Kita bukan miskin (terbelakang) karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita.
Kita terbelakang/lemah/miskin karena perilaku kita yang kurang/tidak baik.
Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akan memungkinkan masyarakat kita pantas membangun masyarakat, ekonomi, dan negara.

Sumber: boedi dayono, januari 2004

Kamis, 14 Juni 2012

Tragedy of the Commons


The concept of the Tragedy of the Commons is extremely important for understanding the degradation of our environment. The concept was clearly expressed for the first time by Garrett Hardin in his now famous article in Science in 1968, which is "widely accepted as a fundamental contribution to ecology, population theory, economics and political science." Hardin: University of California Santa Barbara.
garrett hardin in 1963
Garrett Hardin, the author of Tragedy of the Commons, in 1963.
From The Garrett Hardin Society.
The Basic Idea
If a resource is held in common for use by all, then ultimately that resource will be destroyed. "Freedom in a common brings ruin to all." To avoid the ultimate destruction, we must change our human values and ideas of morality.
  1. "Held in common" means the resource is owned by no one, or owned by a group, all of whom have access to the resource.

  2. "Ultimately" means after many years, maybe centuries. The time interval is closely tied to population increase of those who have access to the resource. The greater the number of people using a resource, the faster it is destroyed. Thus the Tragedy of the Commons is directly tied to over population.

  3. The resource must be available for use. Iron in earth's core is held in common, but it is inaccessible, and it will not be destroyed.

  4. Resources held by individuals, even if the individual destroys the resource, is not an example of the Tragedy of the Commons.

  5. Hardin used the word "tragedy" as the philosopher Whitehead used it:

    "The essence of dramatic tragedy is not unhappiness. It resides in the solemnity of the remorseless working of things." He [Whitehead] then goes on to say, "This inevitableness of destiny can only be illustrated in terms of human life by incidents which in fact involve unhappiness. For it is only by them that the futility of escape can be made evident in the drama."
    Hardin (1968)

    Once the stage is set in a dramatic tragedy, there is no escape from the unhappy ending.

  6. Note that the tragedy does not need to follow from greed. In the example below, we all breath the air. This degrades the common resource: air. But we breath not because we are greedy, but because we want to live. Any sustained increase of population in a finite biosystem ends in tragedy.

    In brief, tragedy is logically dependent only on the assumption that there is steady growth in the use of land or resources within any finite ecosystem; it is not logically dependent on the conventions of any specific political and economic system.

    From A General Statement of Hardin's Tragedy of the Commons by Herschel Elliott.

  7. We can avoid tragedy only by altering our values, by changing the way we live. There is no technical solution.

    The general statement of the tragedy of the commons demonstrates that an a priori ethics constructed on human-centered, moral principles and a definition of equal justice cannot prevent and indeed always supports growth in population and consumption. Such growth, though not inevitable, is a constant threat. If continual growth should ever occur, it eventually causes the breakdown of the ecosystems which support civilization. ... Specifically, Hardin's thought experiment with an imaginary commons demonstrates the futility -- the absurdity -- of much traditional ethical thinking.
    From A General Statement of Hardin's Tragedy of the Commons by Herschel Elliott.

    We will not delve further into the ethical implications. They are profound and far reaching.
Garrett rephrased his idea in 1985:
As a result of discussions carried out during the past decade I now suggest a better wording of the central idea:
Under conditions of overpopulation, freedom in an unmanaged commons brings ruin to all.

From Hardin (1985) An Ecolate View of the Human Predicament.
Examples of Common Resources
  1. Air. No one owns the air, it is available for all to use, and its unlimited use leads to air pollution.
  2. Water. Water in the seas, estuaries, and the ocean is a common resource. But, water in lakes and rivers is often owned by cities, farmers, or others, especially in the western US.
  3. Fish of the sea.
    Hardin writes that In 1625, the Dutch scholar Hugo Grotius said, "The extent of the ocean is in fact so great that it suffices for any possible use on the part of all peoples for drawing water, for fishing, for sailing." Now the once unlimited resources of marine fishes have become scarce and nations are coming to limit the freedom of their fishers in the commons. From here onward, complete freedom leads to tragedy.
Some History
The concept that air, water, and fish are held in common for use by all was first codified into law by the Romans. In 535 AD, under the direction of Tribonian, the Corpus Iurus Civilis [Body of Civil Law] was issued in three parts, in Latin, at the order of the Emperor Justinian: the Codex Justinianus, the Digest, or Pandects, and the Institutes. The Codex Justinianus (issued in 529 AD) compiled all of the extant (in Justinian's time) imperial constitutions from the time of Hadrian. It used both the Codex Theodosianus and private collections such as the Codex Gregorianus and Codex Hermogenianus. From: The "Codex Justinianus" Medieval Sourcebook: The Institutes, 535 CE. Here is the pertinent text:
Codex Justinianus (529) (Justinian Code), Book II, Part III. The Division of Things:
1. By the law of nature these things are common to mankind---the air, running water, the sea, and consequently the shores of the sea. No one, therefore, is forbidden to approach the seashore, provided that he respects habitationes, monuments, and buildings which are not, like the sea, subject only to the law of nations.
2. All rivers and ports are public; hence the right of fishing in a port, or in rivers, is common to all men.
3. The seashore extends as far as the greatest winter flood runs up. ...
5. The public use of the seashore, too, is part of the law of nations, as is that of the sea itself; and, therefore, any person is at liberty to place on it a cottage, to which he may retreat, or to dry his nets there, and haul them from the sea; for the shores may be said to be the property of no man, but are subject to the same law as the sea itself, and the sand or ground beneath it. ...
12. Wild beasts, birds, fish and all animals, which live either in the sea, the air, or the earth, so soon as they are taken by anyone, immediately become by the law of nations the property of the captor; for natural reason gives to the first occupant that which had no previous owner. And it is immaterial whether a man takes wild beasts or birds upon his own ground, or on that of another. Of course any one who enters the ground of another for the sake of hunting or fowling, may be prohibited by the proprietor, if he perceives his intention of entering.
From: The "Codex Justinianus" Medieval Sourcebook: The Institutes, 535 CE.
A General Statement of the Tragedy of the Commons
The philosopher Herschel Elliott states that there are four general premises that entail the tragedy of the commons:
  1. The Earth is finite: it has a limited stock of renewable fuels, minerals, and biological resources, a limited throughput of energy from the sun, and a finite sink for processing wastes.

  2. Although human activity very often does occur on privately owned lands which are not a commons, that and all other human activities take place in some larger natural commons. And that larger commons is a limited biosystem which is in a dynamic, competitive, and constantly evolving equilibrium. The equilibrium of an ecosystem can usually accommodate any activity on the part of its members as long as that activity is limited in amount and/or is practiced only by a small population. But continuous growth in the numbers of any organism or in its exploitation of land and resources will eventually exceed the capacity of the ecosystem to sustain that organism.

  3. Now for the first time on global scale human beings are exceeding the land and resource use which the Earth's biosystem can sustain.

  4. Certainly it is true, as Hardin noted, that individuals who seek to maximize their material consumption contribute to the ever increasing exploitation of the world's commons. But it is also true that all who follow the rarely questioned principles of humanitarian ethics -- to save all human lives, to relieve all human misery, to prevent and cure disease, to foster universal human rights, and to assure equal justice and equal opportunity for everyone -- do so also.
Some Consequences
The large and rapid increase in population since the beginning of the anthropocene has altered the global commons. Will our atmosphere, rivers, lands, and ocean ultimately be destroyed because they are held in common for use by all? Will we place ever stronger restrictions on their use? Or will we limit the population of the world?
Its message is, I think, still true today. Individualism is cherished because it produces freedom, but the gift is conditional: The more the population exceeds the carrying capacity of the environment, the more freedoms must be given up. As cities grow, the freedom to park is restricted by the number of parking meters or fee-charging garages. Traffic is rigidly controlled. On the global scale, nations are abandoning not only the freedom of the seas, but the freedom of the atmosphere, which acts as a common sink for aerial garbage. Yet to come are many other restrictions as the world's population continues to grow.
– Hardin (1998): Extensions of "The Tragedy of the Commons."
Jared Diamond in his book Collapse describes in detail the collapse of civilizations that failed to solve the problem of the Tragedy of the Commons. He writes of Pitcairn and Henderson Islands in the Pacific (page 120):
Many centuries ago, immigrants came to a fertile land blessed with apparently inexhaustible resources. While the land lacked a few raw materials useful for industry, those materials were readily obtained by overseas trade with poorer lands that happened to have deposits of them. For a time, all the lands prospered, and their populations multiplied.
But the population of that rich land eventually multiplied beyond the numbers that even its abundant resources could support. As its forests were felled and its soils eroded, its agricultural productivity was no longer sufficient to generate export surpluses, build ships, or even to nourish its own population. With that decline of trade, shortages of the imported raw materials developed. Civil war spread, as established political institutions were overthrown by a kaleidoscopically changing succession of local military leaders. The starving populace of the rich land survived by turning to cannibalism. Their former overseas trade partners met an even worse fate: deprived of the imports on which they had depended, they in turn ravaged their own environment until no one was left alive.
Solutions
Tragedy is not inevitable. Jared Diamond described how some societies avoided tragedy, at least locally. The people of Tikopia, Japan, and the New Guinea highlands saved their forests and the agrarian economy which depended on forests. All limited their population to what could be sustained by their economy.
There Is No Technical Solution
Hardin points out that the Tragedy of the Commons is an example of the class of problems with no technical solution, where:
A technical solution may be defined as one that requires a change only in the techniques of the natural sciences, demanding little or nothing in the way of change in human values or ideas of morality.
Hardin (1968).
We Must Change Our Values: Mutual Coercion
Therefore, any solution requires that we, as a society, change our values of morality. For example, we may decide that unlimited use of air is no longer morally acceptable. Hardin states one solution is "Mutual Coercion Mutually Agreed Upon." We, as a society, agree that some actions are not allowed (the mutual agreement), and that violations of the agreement leads to fines or prison terms (the Coercion). Thus, we have some restrictions on what can be put into the air. The US Environmental Protection Agency regulates the amount of pollutants that can be released into the air. Failure to comply with the regulations leads to fines or prison sentences.
Hawaiian Islanders protected their environment and fisheries for a thousand years by a unique system of local ownership extending from the sea to the headwaters of streams feeding into the sea. Violations of the rules (taboos) could lead to the death penalty. This was "mutual coercion mutually agreed upon" in the extreme.
death penalty in ancient hawaii
Hawai'ian islanders punishing a guilty person. Lithograph by Langlame: Maniere de punir de mort un coupable aux iles Sandwich. Published in the book by Jacques Etienne Victor Arago, Promenade autour du monde (pendant les annees de 1817, 1818, 1819 et 1820, sur les corvettes du Roi l'Uranie et la Physicienne, commandees par M. Freycinet.
From Grosvenor Prints Hampton, UK.
More General Solutions
In addition, morals or ethics can lead to changes in use of the resource. How can this be done? Ostrom et al (1999) provide a possible answer.
"Solving [commons] problems involves two distinct elements:
  1. Restricting access, and
  2. Creating incentives (usually by assigning individual rights to, or shares of, the resource) for users to invest in the resource instead of overexploiting it.
Both changes are needed. For example, access to the north Pacific halibut fishery was not restricted before the recent introduction of individual transferable quotas and catch limits protected the resource for decades. But the enormous competition to catch a large share of the resource before others did resulted in economic waste, danger to the fishers, and reduced quality of fish to consumers. Limiting access alone can fail if the resource users compete for shares, and the resource can become depleted unless incentives or regulations prevent overexploitation."
From Ostrom et al (1999), "Revisiting the Commons: Local Lessons, Global Challenges."
Restricting access ultimately involves limiting population, especially when the common being accesses is a global system.
References

Diamond, J. (2005). Collapse: How Societies Choose to fail or Succeed, Viking.
Hardin, Garret. (1969) "The Tragedy of the Commons." Science. 162: 1243-8.
Hardin, G. (1998). "ESSAYS ON SCIENCE AND SOCIETY: Extensions of "The Tragedy of the Commons." Science 280 (5364): 682-683.
Ostrom, E., J. Burger, et al. (1999). Revisiting the Commons: Local Lessons, Global Challenges. Science 284 (5412): 278-282

Rabu, 13 Juni 2012

Kerinci is an Endangered Culture


“Adat bersendi sarak, sarak bersendi kitabullah.” Itulah kata-kata yang sering disampaikan ketika seorang pemuka adat dalam suatu upacara adat di Kabupaten Kerinci. Melihat kedekatan kekerabatan antara kerinci dan minangkabau, penulis mencoba menelisik dari sejarah minangkabau dari manakah asal-usul kalimat ini.
Kalimat ini lahir dari suatu kompromi antara dua kubu filsafat yang berbeda. Sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, masyarakat Minangkabau mengatur kehidupan masyarakatnya berdasarkan adat Minangkabau. Dasar filsafah adat Miangkabau adalah “Nan satitiek(setitik) jadikan lauik (laut), nan sakapa(sekepal) jadikan gunuang, alam takambang jadikan guru” (Lihat tulisan Mr. Nasroen). Singkatnya dasar adat Miangkabau adalah hukum alam yang terhampar dalam setiap segi kehidupan kita.
Sedangkan agama Islam yang mendasarkan ajarannya kepada kitab Alquran sebagai petunjuk Tuhan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pertentangan keduanya telah melahirkan persengketaan yang mendalam antara kaum adat dan kaum agama. Setelah melalui peperangan dan tindakan kekerasan, akhirnya para yang bersengketa mencari solusi damai dengan rumusan “Adat bersendi sarak, sarak bersendi Kitabulah. Ini adalah contoh win-win solution. Kaum adat tidak perlu mengubah ajarannya, demikian juga dengan kaum agama. Mengapa ? Menurut ajaran agama Islam, alam terkembang adalah ciptaan Tuhan. Adat Minangkabau menjadikan alam terkembang sebagai dasar perumusan hukum-hukum adat. Dengan demikian tidak seharusnya dipertentangan antara hukum adat dengan hukum Islam, Karena kedua-duanya berasal dari ciptaan Tuhan. Maka lahirlah perdamaian antara kaum agama dengan kaum adat berdasarkan rumusan : “adat bersendi sarak, sarak bersendi kitabulah”. (Subari, 2009)
Namun seiring dengan berjalannya waktu Peran lembaga adat kini mulai terdegradasi seiring menguatkan peran pemerintahan formal di Kerinci sejak bergabungnya daerah ini dengan Provinsi Jambi sekitar 50 tahun lalu. Tokoh-tokoh adat umumnya baru muncul ketika pejabat daerah dan pejabat nasional berkunjung ke Jambi. Mereka tampak dengan pakaian khas Kerinci. Namun, selain kegiatan seperti itu, peran tokoh adat seperti tenggelam.( Musnardi, dalam KOMPAS Online Senin, 3 Mei 2010)

Anak murai terbang kesasak
tibo disasak makan padi
dari nenek turun kemama
tibo dimamak turun kekami.

Begitulah bagaimana seharusnya suatu adat istiadat selalu diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucu. Namun saat ini minat para pemuda untuk mendalami aturan adat istiadat semakin menurun. Perkembangan media hibrida seperti smartphone, internet, dll membuat generasi muda di Kerinci semakin individualis, mereka menjadi tidak peka akan lingkungan mereka sendiri. Budaya-budaya barat menjadi panutan bagi banyak remaja saat ini seperti gaya berpakaian yang seba sempit dan terbuka, berbicara dengan mengucapkan kata-kata kotor dan berbicara tidak sopan kepada orang yang lebih tua. Nauzubillahiminzalik
Jika hal seperti ini di biarkan maka selesailah sudah riwayat adat-istiadat Kerinci. Di masa yang akan datang anak-cucu kita hanya akan mendengar cerita tentang adanya adat-istiadat yang “pernah” berlaku di Kerinci tanpa pernah melihat bagaimana wujud real dari norma-norma kesopanan dan adat-istiadat itu.

Coba lihat dua artikel dibawah ini:


Apanya yang “adat bersendi sarak”?? apanya yang “adat bersendi kitabullah”. Bagaimana mungkin kita mempertahankan adat istiadat sedangkan generasi mudanya tidak mempunyai ilmu-ilmu dasar dalam mempelajari adat istiadat. Saat ini secara perlahan tapi pasti adat istiadat hanya akan menjadi suatu formalitas belaka hingga beberapa dekade mendatang.
Kita butuh suatu lembaga khusus yang mengelola lembaga keagamaan dan adat istiadat di Kerinci. Coba lihat! Seberapa banyakkah literatur yang membahas tentang kebudayaan Kerinci? Saat ini memang masih ada buku yang membahas hal tersebut, namun pastilah buku itu berumur lebih dari 20 tahun, kusam, dan sudah tidak jelas tulisannya. Beberapa hasil photocopy dari salinan aslinya pun sudah tidak jelas huruf yang tertera di dalam buku.

Selasa, 05 Juni 2012

10 Petanda Dialah Jodoh Kita


 

1.Bersahaja
Kekasih kita itu bersikap bersahaja dan tidak berlakon. Cuba perhatikan cara dia berpakaian, cara percakapan, cara ketawa serta cara makan dan minum. Adakah ia spontan dan tidak dikawal ataupun kelihatan pelik. Kalau ia nampak kurang selesa dengan gayanya, sah dia sedang berlakon. Kadang-kadang, kita dapat mengesan yang dia sedang berlakon. Tetapi, apabila dia tampil bersahaja dan tidak dibuat-buat, maka dia adalah calon hidup kita yang sesuai. Jika tidak, dia mungkin bukan jodoh kita.

2.Senang bersama

Walaupun kita selalu bersamanya, tidak ada sedikit pun perasaan bosan, jemu ataupun tertekan pada diri kita. Semakin hari semakin sayang kepadanya. Kita sentiasa tenang, gembira dan dia menjadi pengubat kedukaan kita. Dia juga merasainya. Rasa senang sekali apabila bersama. Apabila berjauhan, terasa sedikit tekanan dan rasa ingin berjumpa dengannya. Tidak kira siang ataupun malam, ketiadaannya terasa sedikit kehilangan.

3.Terima kita seadanya

Apapun kisah silam yang pernah kita lakukan, dia tidak ambil peduli. Mungkin dia tahu perpisahan dengan bekas kekasihnya sebelum ini kita yang mulakan. Dia juga tidak mengambil kisah siapa kita sebelum ini. Yang penting, siapa kita sekarang. Biarpun dia tahu yang kita pernah mempunyai kekasih sebelumnya, dia tidak ambil hati langsung. Yang dia tahu, kita adalah miliknya kini. Dia juga sedia berkongsi kisah silamnya. Tidak perlu menyimpan rahsia apabila dia sudah bersedia menjadi pasangan hidup kita.
4.Sentiasa jujur
Dia tidak kisah apa yang kita lakukan asalkan tidak menyalahi hukum hakam agama. Sikap jujur yang dipamerkan menarik hati kita. Kejujuran bukan perkara yang boleh dilakonkan. Kita dapat mengesyaki sesuatu apabila dia menipu kita. Selagi kejujuran bertakhta di hatinya, kebahagiaan menjadi milik kita. Apabila berjauhan, kejujuran menjadi faktor paling penting bagi suatu hubungan. Apabila dia tidak jujur, sukar baginya mengelak daripada berlaku curang kepada kita. Apabila dia jujur, semakin hangat lagi hubungan cinta kita. Kejujuran yang disulami dengan kesetiaan membuahkan percintaan yang sejati. Jadi, dialah sebaik-baik pilihan.

5.Percaya Mempercayai

Setiap orang mempunyai rahsia tersendiri. Adakalanya rahsia ini perlu dikongsi supaya dapat mengurangkan beban yang ditanggung. Apabila kita mempunyai rahsia dan ingin memberitahu kekasih, adakah rahsia kita selamat di tangannya? Bagi mereka yang berjodoh, sifat saling percaya mempercayai antara satu sama lain timbul dari dalam hati nurani mereka. Mereka rasa selamat apabila memberitahu rahsia-rahsia kepada kekasihnya berbanding rakan-rakan yang lain. Satu lagi, kita tidak berahsia apa pun kepadanya dan kita pasti rahsia kita selamat. Bukti cinta sejati adalah melalui kepercayaan dan kejujuran. Bahagialah individu yang memperoleh kedua-duanya.

6.Senang Bekerjasama

Bagi kita yang inginkan hubungan cinta berjaya dan kekal dalam jangka masa yang panjang, kita dan dia perlu saling bekerjasama melalui hidup ini. Kita dan kekasih perlu memberi kerjasama melakukan suatu perkara sama ada perkara remeh ataupun sukar. Segala kerja yang dilakukan perlulah ikhlas bagi membantu pasangan dan meringankan tugas masing-masing. Perkara paling penting, kita dan dia dapat melalui semua ini dengan melakukannya bersama-sama. Kita dan dia juga dapat melakukan semuanya tanpa memerlukan orang lain dan kita senang melakukannya bersama. Ini penting kerana ia mempengaruhi kehidupan kita pada masa hadapan. Jika tiada kerjasama, sukar bagi kita hidup bersamanya. Ini kerana, kita yang memikul beban tanggungjawab seratus peratus. Bukankah ini menyusahkan?
7.Memahami diri kita
Bagi pasangan yang berjodoh, dia mestilah memahami diri pasangannya. Semasa kita sakit dia bawa ke klinik. Semasa kita berduka, dia menjadi penghibur. Apabila kita mengalami kesusahan, dia menjadi pembantu. Di kala kita sedang berleter, dia menjadi pendengar. Dia selalu bersama kita dalam sebarang situasi. Tidak kira kita sedang gembira ataupun berduka, dia sentiasa ada untuk kita. Dia juga bersedia mengalami pasang surut dalam percintaan. Kata orang, “lidah sendiri lagikan tergigit”, inikan pula suami isteri’. Pepatah ini juga sesuai bagi pasangan kekasih. Apabila dia sentiasa bersama kita melalui hidup ini di kala suka dan duka, di saat senang dan susah, dialah calon yang sesuai menjadi pasangan hidup kita.

8.Tampilkan kelemahan

Tiada siapa yang sempurna di dunia ini. Tipulah jika ada orang yang mengaku dia insan yang sempurna daripada segala sudut. Pasti di kalangan kita memiliki kelemahan dan keburukan tertentu. Bagi dia yang bersedia menjadi teman hidup kita, dia tidak terlalu menyimpan rahsia kelemahannya dan bersedia memberitahu kita. Sudah tentu bukan senang untuk memberitahu dan mengakui kelemahan di hadapan kekasihnya. Malah, dia tidak segan mempamerkan keburukannya kepada kita. Misalnya, apabila dia bangun tidur ataupun sakit dan tidak mandi dua hari, dia tidak menghalang kita daripada melawatnya.Apabila kita dan dia saling menerima kelemahan dan sifat buruk masing-masing, memang ditakdirkan kita hidup bersamanya.
9.Kata hati
Dengarlah kata hati. Kadangkala, manusia dikurniakan Allah deria keenam yang dapat mengetahui dan memahami perasaan pasangannya. Dengan deria batin ini juga kita dapat saling tahu perasaan masing-masing. Kita dan dia juga dapat membaca fikiran antara satu sama lain dan dapat menduga reaksi dan tindakbalas pada situasi tertentu. Apabila kita yakin dengan pilihan hidup kita, tanyalah sekali lagi. Adakah dia ditakdirkan untuk kita? Dengarlah kata hati dan buatlah pilihan. Serahlah segalanya pada ketentuan yang maha berkuasa.
10.Keep Praying
Jodoh dan pertemuan semuanya di tangan Tuhan. Manusia hanya perancang di pentas dunia ini dan skripnya ditulis oleh Yang Maha Esa. Adakalanya, dalam memainkan peranan sebagai pelakon, diberi petunjuk melalui mimpi atau gerak hati. Mimpi memang mainan tidur, tetapi apabila kita melakukan sembahyang Istikharah dan memohon supaya Tuhan memberikan petunjuk, Mudah mudahan dengan izinnya kita mendapat petunjukNya. Jika dia pilihan kita, buatlah keputusan sebaiknya. Jika tidak, tolaklah dia dengan baik. Semua yang kita lakukan ini adalah bagi mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia. Setelah semuanya diusahakan, berserahlah kepadaNya dan terus berdoa. Ingatlah, nikmat di dunia ini hanya sementara.Nikmat di akhirat adalah kekal selamanya.

Sumber: motivatorsuper.com