Tampilkan postingan dengan label forestry. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label forestry. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Mei 2013

PERAN SERTA TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DALAM PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT*


Oleh:
Rama Septiawan/E14100028**
*Tugas Makalah Mata Kuliah Pengusahaan Hutan Tahun 2013
**Mahasiswa Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor angkatan 47

Indonesia merupakan Negara dengan dengan sumberdaya alam yang luar biasa banyaknya. Sumber daya alam Indonesia berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, tanah subur, batu bara, emas, dan perak dengan pembagian lahan terdiri dari tanah pertanian sebesar 10%, perkebunan sebesar 7%, padang rumput sebesar 7%, hutan dan daerah berhutan sebesar 62%, dan lainnya sebesar 14% dengan lahan irigasi seluas 45.970 km.
Sumberdaya yang luar biasa ini tidak seimbang dengan jumlah penduduk di Indonesia yang populasinya sebesar 237 juta jiwa pada tahun 2010. Dengan jumlah penduduk sebesar ini Indonesia termasuk negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.
Jumlah angkatan Kerja di Indonesia yang mencapai 110 juta jiwa, 7 juta di antaranya meerupakan pengangguran terbuka (Badan Pusat Statistik, 2012). Masih banyak penduduk Indonesia yang berada dalam angkatan kerja yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Ketidakseimbangan ini membuat masyarakat yang berada dalam angkatan kerja pengangguran terbuka ini untuk memutar otak mencari cara agar mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama bagi masyarakat yang berada dalam kelas menengah kebawah.
            Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan salah satu program pemerintah dimana Penduduk Indonesia diberikan kesempatan untuk bekerja di luar negeri seluas-luasnya. Sebanyak hampir 4juta penduduk Indonesia telah ditempatkan di luar negeri sejak tahun 2006 (dikutip dari www.bnp2tki.go.id). Tidak dapat dipungkiri jasa yang diberikan oleh tenaga kerja di Indonesia saat ini sangatlah besar. Jasa tersebut tidak saja bersifat langsung seperti kepada keluarga yang mendapatkan kiriman uang dari mereka, tetapi juga akibat tidak langsungnya berupa bangkitnya ekonomi pedesaan dan daerah karena transaksi yang cukup intensif dari uang yang dikirim TKI. Karena itu, tidak heran bla disuatu wilayah yang jumlah TKI-nya cukup banyak, maka wilayah tersebut akan tampak rumah-rumah yang bagus dan permanen, ramainya pasar karena banyak pembeli dan tumbuhnya produsen keperluan rumah tangga skala kecil dan menengah.
            Permasalahan yang sering terjadi ketika TKI yang bekerja diluar negeri mengrimkan uang ke kampung halaman adalah uang tersebut sering dirasakan terlalu cepat habis karena daya konsumsi yang meningkat. Berdasarkan keadaan ini masyarakat mulai berpikir bagaimana mengembangkan uang hasil kerja keras mereka diluar negeri. Sebagian besar masyarakat ini menanamkan modalnya ke dalam sektor pertanian dan peternakan seperti berkebun tanaman holtikultura dan berternak sapi.
Sektor kehutanan sampai saat ini belum menjadi sektor yang menarik bagi masyarakat untuk menanamkan modalnya. Padahal penghasilan TKI yang bekerja diluar negeri ini merupakan sumber modal yang lumayan besar jumlahnya untuk dikembangkan dalam sector hutan rakyat. Permasalahan terbesar yang masih dihadapai dalam pengembangan htan rakyat sampai saat ini adalah bagaimana memberikan modal kepada masyarakat untuk membangun hutan rakyat. Pengembangan skema pembangunan hutan rakyat dari penghasilan TKI ini merupakan skema yang dirasa patut untuk dikembangkan lebih lanjut demi menjsejahterakan masyarakat.
Pembangunan hutan rakyat merupakan suatu investasi masa depan bagi masyarakat yang mau menanamkan modalnya dalam bidang ini. Selain manfaat ekonomi terdapat manfaat lainnya yang dapat diperoleh dengan dibangunnya hutan rakyat ini seperti adanya iklim mikro yang dapat dirasakan langsung pengaruhnya oleh masyarakat yang membangun hutan rakyat.
Hambatan yang mungkin ditemukan dalam pengembangan skema ini adalah masalah kepemilikan lahan oleh masyarakat dan pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat yang masih rendah di kalangan masyarakat. Permasalahan ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, para akademisi, dan siapapun yang ingin mengembangkan hutan rakyat sebagai suatu sumber penghasilan yang mensejahterakan masyarakat di pedesaan.

Kamis, 28 Februari 2013

Hak yang ter-semukan oleh Pemerintah


Bagi orang ekonomi, tabel diatas bukan merupakan suatu hal yang asing.
Private good merupakan barang yang mempunyai sifat rivalry dan exclusive, sifat rival artinya suatu barang tidak dapat dinikmati secara bersama dalam waktu yang sama tanpa saling meniadakan manfaat. sifat eklusif artinya unutk mengkonsumsi barang tersebut diperlukan syarat. syarat tersebut misalkan saja untuk menikmati manfaat suatu barang maka seseorang tersebut harus membayar terlebih dahulu sebagai syarat untuk menikmati manfaat barang tersebut. Sifat non rival artinya barang yang dapat dikonsumsi bersama dalam waktu yang sama tanpa saling meniadakan manfaat. sifat non ekslusif artinya seseorang tidak memerlukan syarat untuk menikmati barang publik.

Pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam usaha pemanfaatan sumberdaya alam di Indonesia sebagai diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 menyatakan bahwa "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". jika dilihat dari sifat barangnya maka cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tersebut termasuk dalam barang yang non-excludable. Sehingga barang tersebut bisa tergolong ke dalam Common goods ataupun Public goods.

Dilihat dari kebijakan pemerintah terhadap kehutanan saat ini, terjadi suatu overtaking kekuasaan dimana pemerintah tidak lagi bermain di ranah non-excludable property tapi juga masuk kepada ranah excludable property. bahkan saat ini pemerintah mulai bermain kepada barang yang mempunyai sifat private good.

Perhatikan cerita berikut "Suatu hari, Seorang petani yang mempunyai sebatang kayu Suren ditengah kebun kopi miliknya sendiri, harus menebang pohon tersebut untuk membantu bahan kayu untuk anaknya yang sedang membuat rumah. namun karena rumah yang sedang dibangun oleh anaknya itu berada diluar kota maka petani tersebut harus mengurus surat ke kepala desa, tak cukup hanya ke kepala desa petani tersebut juga harus mengurus surat keterangan ke Dinas Kehutanan setempat agar kayu yang ia tebang tersebut benar-benar diakui oleh dan diverifikasi sebagai kayu miliknya yang ditebang dari kebunnya sendiri"

dari cerita tersebut diatas, bayangkan saja seorang petani yang menanam Suren di lahan miliknya sendiri harus susah payah untuk dapat membawa kayu tersebut ke tempat anaknya yang sedang membangun rumah. Coba kita ganti kayu tersebut sebagai kopi yang ditanam petani itu di lahan nya sendiri, apakah petani tersebut harus mengurus surat kesana kemari untuk dapat membawa kayu tersebut ke luar kota? TIDAK.

begitupun dengan hutan rakyat yang saat ini sedang gencar-gencarnya dikembangkan oleh pemerintah. Pemerintah sebenarnya tidak mempunyai hak untuk mengatur hutan rakyat yang nota bene bahwa kayu yang ditanam tersebut merupakan milik rakyat, di lahan milik rakyat sendiri. otomatis bahwa kayu tersebut merupakan barang private dari rakyat.

Lalu kenapa Pemerintah melakukan langkah Overtaking ini?

Senin, 18 Juni 2012

Peralatan PPEH

@peralatan pribadi:

Carrier
Sleeping bag
Matras
Jaket
Baju lapangan (lengan panjang)
Topi
Sepatu lapangan
Raincoat
Obat-obatan
senter/headlamp

@peralatan regu:

Pertolongan pertama (Oksigen-1 tabung/regu)
Kamera
Lampu badai
Tambang plastik
Parang

@peralatan pengamatan dan pengukuran:

1. Kompas (per regu), 1 buah
2. Haga Hypsometer (per regu), 1 buah
3. Altimeter (per jalur), 1 buah
4. Termometer (per regu), 1 buah
5. Kertas lakmus, 1 pak
6. Pita meter 20 m, 1 buah
7. Meteran kain (1,5 m), min. 3 buah
8. Tambang plastik 25 m, diamter 1 cm, warna merah/kuning
9. Perlengkapan herbarium (alkohol 70 %, kertas koran bekas, kantong plastik besar, tali rafia, label)
10.Buku pengenalan jenis (flora & fauna)

Keterangan:
Peralatan no. 1, 2, 3, 6, 10, dapat dipinjam
di beberapa lab. Seminggu sebelum berangkat
Komisi PL akan memeriksa kelengkapnnya

nb: kalau ada tambahan akn segera diinfokan

Kamis, 12 April 2012

Kerinci Seblat National Park

Kerinci Seblat National Park covers almost 1.4 million ha straddling four provinces, namely Jambi (422,190 Ha), West Sumatra (353,780 Ha), Bengkulu (310,910 Ha), and South Sumatra (281,120 Ha). Physically, KSNP is a part of Bukit Barisan Mountain Range stretching North to South along Sumatra Island. The park, which lies at about 200 m to 3,805 m above sea level, is located between 100º31'18" - 102º44'01" East Longitude and 1º07'13" - 1º26'14" South Latitude.

Its physical setting and location makes KSNP as one of the richest conservation area in terms of biodiversity and the most undiminished of Sumatra's representative ecosystems. The ecosystems or forest types based on altitude as well as other particulars may be outlined as follows:

    Sub montane and lowland rain forest (200-1,500 asl.) is dominated by members of the families Dipterocarpaceae and Leguminosae.

    Montane forest (1,500-2,500 asl.) is dominated by members of the families Dipterocarpaceae, Lauraceae, and Myrtaceae.

    Sub alpine ecosystem (2,500 m asl. and above) is dominated by members of the families Lauraceae, Fagaceae, and Erycaceae, including various fern species.

    Mount Kerinci summit (3,805 m asl.), the highest peak in Sumatra, is dominated by herbs and grasses, and includes the eternal flower Anaphalis javanica. 

Other, special and unique ecosystems in the park are Rawa Bento, Ladeh Panjang, and Gunung Tujuh Lake. Rawa Bento is a fresh water swamp located at ±1,300 m asl. dominated by Bento Grass (Leersia hexandra), and tree species such as Bintungan (Biscofia javanica), Gelam Merah (Xylocarpus granatum), and Kelat Putih (Alangium sp.). Ladeh Panjang is a peat swamp on the Mount Kerinci highland (±1,600 m asl.), the highest peat swamp in South East Asia. Gunung Tujuh Lake (±1,600 m asl.) is a deep volcanic with a surrounding ridge of seven hills.

In the park can be found at least 306 bird species of 49 families and 42 mammal species of 19 families. A record of the park's reptiles, fish, and insects is not yet available. Common bird species found in the park are of the Pycnotidae family, such as the sooty-headed Bulbul (Pycnonotus aurigaster) and Black headed Bulbul (Pycnonotus atriceps); the Accipiteridae family, such as Crested Serpent Eagle (Spilornis cheela); Capitonidae family, such as Blue eared Barbet (Megalaima australis); Picidae family, such as Crimson-winged Wood pecker (Picus puniceus); Muscipidae family, such as Sikatan (Ficedula stropiata); Silvidae family, such as Yellow-bellied prinia (Prinia flaviventris); and Columbidae family, such as Spotted Doves (Geopelia striata) and Pinknecked Pigeon (Treron vernans). In addition, many protected bird species are found in the park, among others Rhinoceros Hornbills (Buceros rhinoceros), Argus Pheasant (Argusianus argus), Black Eagle (Ichtinaetus malayensis), European Hobby (Falco subbeteo), Southern Peat Hornbill (Anthrococeros convexsus), Common Kingfisher (Alcedo athis) and Brown-throated Barbet (Magalaima oorti).

Kehutanan Masyarakat by Komunitas Konservasi Indonesia -WARSI

Teman-teman saya punya sedikit Info dari teman-teman WARSI
(Komunitas Konservasi Indonesia)



Berikut ini adalah artikel oleh warsi yang dikirimkan kepada saya ketika saya menanyakan tentang hutan masyarakat, karena kebetulan saya juga punya kegiatan yang sama di PC Sylva Indonesia Institut Pertanian Bogor

Untuk mengakomodir aspirasi dan kepentingan masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya hutan, sejak Oktober 2000 lalu, WARSI telah mendorong sebuah pendekatan baru menuju pengelolaan yang adil, demokratis serta berkelanjutan melalui konsep pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat melalui program community base forest management atau CBFM. Tujuannya untuk mewujudkan pengelolaan dan keberlanjutan sumber daya alam seperti sumber daya hutan, dengan menempatkan posisi masyarakat sebagai bagian terpenting dari sumber daya itu sendiri. Dimana masyarakat mendapatkan kepercayaan dan kesempatan untuk ikut mengelola hutan rakyat sesuai dengan nilai dan konsep yang mereka miliki.

CBFM telah dikembangkan di lima kabupaten di empat propinsi. Diantaranya di Sumatra Barat di Kabupaten Agam, desa Koto Malintang, Di Bengkulu di Kabupaten Rejang Lebong desa Ladang Palembang, di Sumatra Selatan di Kabupaten Muara Enim Kecamatan Gunung Megang desa Eks Marga Benakat.Khusus di propinsi Jambi, terdapat di dua desa di dua kabupaten yakni desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo dan di desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin.
Pengelolaan Hutan Dengan Konsep CBFM. Community Base Forest Management atau sistem hutan kerakyatan merupakan sistem pengelolaan sumber daya alam hutan yang dikembangkan oleh masyarakat dilingkungannya bagi kesejahteraannya. Dimana hutan bukan sekedar tegakan pohon melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan wilayah hukum adat yang elemennya terdiri atas hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang, kebun, pemukiman, tanah keramata dan komunitas serta sistem ekologinya. Sistem ini memberikan syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tanah, penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan dan religi. 

Kegiatan fasilitasi oleh fasilitataor WARSI di lapangan dilakukan melalui penggalian aspirasi, pendokumentasian dan mensosialisasikannya dalam setiap pertemuan di desa, baik secara formal maupun informal. Mulai dari level dusun hingga ke tingkat Bupati. Sebagai contoh, di Propinsi Jambi yakni di desa Batu Kerbau, kegiatan fasilitasi telah mengasilkan “Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Desa Batu Kerbau” untuk pengelolaan sumber daya alam. 

Dilanjutkan dengan dikeluarkan Permenhut No 49/Menhut-II/2008 tentang hutan desa.  Hutan desa merupakan kawasan hutan negara yang dikelola lembaga desa yang ditujukan untuk kemakmuran masyarakat desa. Penyelenggaraan hutan desa dimaksudkan untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan.

Warsi melihat peluang ini sangat dinantikan dengan mengusung hutan desa pertama di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo seluas 2.356 ha. Melalui Surat Nomor:522/B312/Hutbun, Bupati  Bungo mengusulkan kawasan tersebut untuk ditetapkan sebagai pencadangan areal kerja hutan desa untuk Lubuk Beringin. Dan langkah ini dilanjutkan dengan pengusulan hutan desa di 23 desa di Provinsi Jambi yang meliputi Dusun Senamat Ulu, Laman Panjang dan Buat di Kabupaten Bungo,dan 17 desa di empat Kecamatan, Kabupaten Merangin, serta Desa Olak Besar, Desa Jelutih dan Desa Hajran di Batanghari. Total wilayah meliputi 48.326,69 ha.

Tidak hanya di Jambi warsi juga menginisiasi pegusulan dua hutan nagari di Sumatera Barat sejak tahun 2010, yaitu Kenagarian Simanau, Kecamatan Tigo Lurah, Kabuapaten Solok dan Jorong Simancuang, Kenagarian Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan. Semua hutan desa dan hutan nagari ini telah mendapakan SK penetapan dari menteri dan untuk dapat mengelola hutan desa tersebut maka harus dibentuk kelompok pengelola hutan desa yang akan membuat Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD). RKHD ini akan disetujui lagi oleh Gubernur.
Dengan adanya RKHD ini masyarakat akan mengelola dan memanfaatkan hutan desa yang sudah di SK kan oleh Menteri Kehutanan tersebut. Kelompok pengelola hutan desa juga akan menyusun rencana kerja tahunan.