Ilustrasi |
Dalam dua dekade
terakhir ini masyarakat luas, kalangan perusahaan, akademisi, pemerintahan, dan para
pegiat lingkungan serta LSM di Indonesia umumnya telah banyak
mengenal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun belum banyak yang
mengetahui bahwa dalam satu dekade terakhir di berbagai pelosok dunia
telah berkembang pula instrumen baru yang dikenal sebagai Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS).
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang
sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program
(definisi KLHS dalam RUU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Secara prinsip sebenarnya KLHS adalah suatu self assessment untuk melihat
sejauh mana Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) yang diusulkan oleh
pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Dengan KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan
dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.
KLHS dilaksanakan/ dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, karena
pada prinsipnya KLHS adalah suatu self assessment untuk melihat sejauh mana
Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) yang diusulkan oleh pemerintah
dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip pembangunan
berkelanjutan. Dengan KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan dan
ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.
Sampai pada tahun 2014 masih belum banyak Pemerintah Daerah yang menyusun
Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang berdasarkan hasil kajian KLHS.
KLHS sendiri baru bersifat mandatory
ketika Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 di-sahkan,
sebelumnya KLHS hanya bersifat voluntary dan
hanya mengacu kepada peraturan menteri lingkungan hidup. Setelah legitimasi atas KLHS tersebut di-sahkan pun
pelaksanaannya masih belum dilakukan secara menyeluruh di tataran pemerintah
daerah di Indonesia mengingat tata cara pelaksanaan KLHS ini pun memerlukan
sosialisasi kepada setiap Pemerintah Daerah. Belum ditetapkannya Peraturan
Pemerintah yang memaparkan mengenai tata cara pelaksanaan KLHS inipun menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan masih banyaknya KRP di tataran Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah yang belum di susun berdasarkan rekomendasi dari
hasil KLHS.
Pintu masuk kawasan TNKS di Lempur |
Pro dan Kontra yang terjadi pada rencana pembangunan jalur evakuasi pada
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan salah satu akibat dari tidak
adanya penyelarasan aspek yang menjadi dasar pertimbangan dalam merencanakan
pembangunan daerah. Dari hasil penelusuran saya terhadap berbagai sumber,
Peraturan Daerah Kabupaten Kerinci Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Kerinci 2012-2032 belum disusun berdasarkan rekomendasi
hasil KLHS sehingga terdapat indikasi bahwa pembuatan Perda tersebut masih
belum memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan lingkungan
hidup.
Pada tahun 2017 Perda tersebut akan di evaluasi kembali sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang yang
mengamanatkan agar setiap rencana tata ruang wilayah di revisi sebanyak satu
kali dalam kurun waktu lima tahun.
Menjadi harapan kita bersama kedepan agar pembangunan yang direncanakan
oleh pemerintah daerah dapat memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dan lingkungan hidup secara lebih terinci dan sistematis. Selain itu, Kesalahan-kesalahan
investasi yang mungkin dilakukan oleh setiap daerah dapat dicegah sehingga perlindungan
terhadap asset-asset sumberdaya alam dan lingkungan hidup akan menjamin
berlangsungnya pembangunan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar