“Adat bersendi sarak, sarak bersendi
kitabullah.” Itulah
kata-kata yang sering disampaikan ketika seorang pemuka adat dalam suatu
upacara adat di Kabupaten Kerinci. Melihat kedekatan kekerabatan antara kerinci
dan minangkabau, penulis mencoba menelisik dari sejarah minangkabau dari manakah
asal-usul kalimat ini.
Kalimat ini lahir dari suatu
kompromi antara dua kubu filsafat
yang berbeda. Sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, masyarakat Minangkabau
mengatur kehidupan masyarakatnya berdasarkan adat Minangkabau. Dasar filsafah adat Miangkabau adalah “Nan
satitiek(setitik) jadikan lauik
(laut), nan sakapa(sekepal) jadikan gunuang, alam takambang jadikan guru” (Lihat tulisan Mr.
Nasroen). Singkatnya dasar adat Miangkabau
adalah hukum alam yang terhampar dalam setiap segi kehidupan kita.
Sedangkan
agama Islam yang mendasarkan ajarannya kepada kitab Alquran sebagai petunjuk
Tuhan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pertentangan keduanya telah melahirkan persengketaan yang mendalam
antara kaum adat dan kaum agama. Setelah melalui
peperangan dan tindakan kekerasan, akhirnya para yang bersengketa mencari solusi damai dengan rumusan
“Adat bersendi sarak, sarak bersendi Kitabulah.
Ini adalah contoh win-win solution. Kaum adat tidak perlu mengubah ajarannya, demikian juga dengan kaum
agama. Mengapa ? Menurut ajaran agama
Islam, alam terkembang adalah ciptaan Tuhan. Adat Minangkabau menjadikan alam
terkembang sebagai dasar perumusan hukum-hukum adat. Dengan demikian tidak
seharusnya dipertentangan antara hukum adat dengan hukum Islam, Karena kedua-duanya
berasal dari ciptaan Tuhan. Maka lahirlah
perdamaian antara kaum agama
dengan kaum adat berdasarkan
rumusan : “adat bersendi sarak, sarak bersendi
kitabulah”. (Subari, 2009)
Namun seiring dengan berjalannya
waktu Peran lembaga adat kini mulai terdegradasi seiring menguatkan
peran pemerintahan formal di Kerinci sejak bergabungnya daerah ini dengan
Provinsi Jambi sekitar 50 tahun lalu. Tokoh-tokoh adat umumnya baru muncul
ketika pejabat daerah dan pejabat nasional berkunjung ke Jambi. Mereka tampak
dengan pakaian khas Kerinci. Namun, selain kegiatan seperti itu, peran tokoh
adat seperti tenggelam.( Musnardi, dalam KOMPAS Online Senin,
3 Mei 2010)
Anak murai terbang kesasak
tibo disasak makan padi
dari nenek turun kemama
tibo dimamak turun kekami.
Begitulah bagaimana seharusnya suatu
adat istiadat selalu diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucu. Namun
saat ini minat para pemuda untuk mendalami aturan adat istiadat semakin
menurun. Perkembangan media hibrida seperti smartphone, internet, dll membuat
generasi muda di Kerinci semakin individualis, mereka menjadi tidak peka akan
lingkungan mereka sendiri. Budaya-budaya barat menjadi panutan bagi banyak
remaja saat ini seperti gaya berpakaian yang seba sempit dan terbuka, berbicara
dengan mengucapkan kata-kata kotor dan berbicara tidak sopan kepada orang yang
lebih tua. Nauzubillahiminzalik
Jika hal seperti ini di biarkan maka
selesailah sudah riwayat adat-istiadat Kerinci. Di masa yang akan datang anak-cucu
kita hanya akan mendengar cerita tentang adanya adat-istiadat yang “pernah”
berlaku di Kerinci tanpa pernah melihat bagaimana wujud real dari norma-norma kesopanan dan adat-istiadat itu.
Coba lihat dua artikel dibawah ini:
Apanya yang “adat bersendi sarak”?? apanya yang “adat bersendi kitabullah”. Bagaimana mungkin kita mempertahankan
adat istiadat sedangkan generasi mudanya tidak mempunyai ilmu-ilmu dasar dalam
mempelajari adat istiadat. Saat ini secara perlahan tapi pasti adat istiadat hanya
akan menjadi suatu formalitas belaka hingga beberapa dekade mendatang.
Kita butuh suatu lembaga khusus yang
mengelola lembaga keagamaan dan adat istiadat di Kerinci. Coba lihat! Seberapa banyakkah
literatur yang membahas tentang kebudayaan Kerinci? Saat ini memang masih ada
buku yang membahas hal tersebut, namun pastilah buku itu berumur lebih dari 20
tahun, kusam, dan sudah tidak jelas tulisannya. Beberapa hasil photocopy dari salinan aslinya pun sudah
tidak jelas huruf yang tertera di dalam buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar