Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati,
bahkan merupakan negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati tertinggi
di dunia. Meskipun Indonesia menempati 1,3 persen luas daratan di permukaan
bumi, kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang tumbuh di
permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen dari seluruh spesies mamalia
yang ada di bumi dan 16 persen spesies burung di dunia.
Dinas kehutanan Indonesia sempat merilis peta vegetasi pada tahun 1950.
Peta tersebut menunjukkan bahwa 84 persen daratan Indonesia pada masa itu,
tertutup hutan primer dan hutan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan.
Menurut catatan pada masa pendudukan Belanda, pada 1939 perkebunan skala besar
yang di eksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juat hektar
yang ditanami. Sektor ini mengalami stagnasi sepanjang 1940-an hingga 1950-an.
Tahun 1969, luas perkebunan skala kecil hanya mencapai 4,6 juta hektar.
Sebagian besar lahan itu berubah menjadi perkebunan atau persawahan sekitar
1950-an dan 1960-an. Alasan utama pembukaan hutan yang terjadi adalah untuk
kepentingan pertanian terutama untuk budidaya padi.
Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia menginjak babak baru. Di masa ini
deforestasi (hilangnya lahan hutan) mulai menjadi masalah serius. Industri
perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon bagaikan emas coklat yang menguntungkan.
Lalu pembukaan hutan secara komersial muai di bukan besar-besaran. Saat itu
terjadi konsesi pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan
untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan. Pada
akhirnya langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi
ini juga di ikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian
hutan yang lain.
Kegiatan pembukaan hutan hingga saat ini terus terjadi. Pemerintah dan
Bank Dunia pada tahun 1999 pernah melakukan kerjasama melakukan pemetaan ulang
pada areal penutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestasi rata-rata
dari tahun 1985-1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut,
Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan mengalami deforetasi terbesar. Secara
keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya.
Memasuki tahun 2000-an laju deforestasi di Indonesia semakin meningkat.
Greenpeace mencatat tingkat kerusakan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta
hektar pertahun, sebagian besar illegal logging dan penebangan liar (Johnston,
2004). Saat ini Sumatera dan Kalimantan telah kehilangan areal tutupan
hutannya, keadaan ini pun akan terjadi pada Sulawesi dan Papua.
Sudah lebih dari 3 dasawarsa lebih pengelolaan hutan di negara ini
mengalami kekacauan. Masalah-masalah kebakaran hutan, penebangan liar, dan
dehumanisasi masyarakat sekitar hutan merupakan masalah yang sampai sekarang
belum dapat terpecahkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada suatu
kesempatan dalam pidatonya mengatakan bahwa keberhasilan kita mengelola hutan
saat ini akan menentukan masa depan. Pasalnya, pengelolaan hutan sangat terkait
dengan masyarakat, yakni terkait keamanan pangan, ketersediaan kayu dan bahan
bakar, juga berhubungan erat dengan iklim.
Pada saat ini kita harus merubah pandangan kita terhadap bagaimana cara
mengelola hutan yang lestari. Banyak yang mengharapkan pengelolaan hutan di
masa yang akan datang mengikutsertakan masyarakat dalam pembuatan kebijakan
dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan seharusnya mengakomodir prinsip
dasar berupa pertanggung jawaban kepada masyarakat umum. Setiap stakeholder
baik itu besar maupun kecil mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh
informasi baik mengenai profit maupun dampak negatif dari sisi ekologi dan
sosial.
Di masa-masa yang akan datang hendaknya kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah haruslah berpihak kepada rakyat, terutama
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Jangan sampai suara-suara kekecewaan
dari rakyat itu terdengar lagi. Jangan ada lagi hutan masyarakat adat yang
telah susah payah mengelola hutan kemudian oleh pemerintah dengan mengatas
namakan undang-undang menyerahkan lahan tersebut kepada pengusaha-pengusaha
besar. Sudah cukup penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan.
Pemerintah sebagai pengayom masyarakat harus berani mengambil inisisatif
melalui kerjasama yang erat dan kemitraan dengan semua stakeholder terkait
pengelolaan hutan. Negara harus tetap mempertahankan hutan yang ada dan
mengintensifkan upaya untuk mengurangi emisi dari penggunaan lahan, perubahan
lahan dan eksploitasi kehutanan di
tengah-tengah krisis ekonomi global yang terjadi saat ini. Hal ini dimaksudkan
agar emisi gas rumah kaca di Indonesia dapat ditekan hingga 85 persen.
Pengelolaan hutan yang lestari dan berbasis kemasyarakatan diharapkan
dapat menjaga keberadaan hutan di Indonesia beberapa dekade mendatang,dan tetap
dapat memberikan manfaat ekonomi sambil membantu menstabilkan iklim di Bumi
ini. Hutan akan menjadi warisan yang berharga untuk anak-anak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar